Kamis, 07 Oktober 2010

Komunikasi ( Bahasa )

Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dari Bangsa Indonesia sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945, pasal ke-36. Bahasa Indonesia lahir pada saat Sumpah Pemuda (28-Oktober-1928). Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu yang digunakan sebagai bahasa pergaulan di Nusantara. Dan 10 tahun kemudian pada tanggal 25-28 Juni 1938 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, kongres ini dilakukan guna untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada bahasa Indonesia. Kongres Bahasa tidak hanya berhenti pada tahun itu saja, seiring dengan perkembangannya pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa ke-2 di Medan. Dari hasil Kongres Bahasa II ini melahirkan lembaga yang kita kenal sebagai Pusat Bahasa. Pusat Bahasa merupakan suatu lembaga yang bertugas untuk membina Bahasa Indonesia, dan lembaga ini juga mengadakan kongres 5 tahun sekali untuk pembinaan terhadap Bahasa Indonesia.


Perkembangan Bahasa dari Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia :


  • Bahasa Melayu Purba, sebelum masa Sriwijaya
  • Bahasa Melayu Kuno (zaman Sriwijaya, abad 4 – abad 14), mulai ada catatan seperti prasasti
  • Bahasa Melayu Klasik (abad 14 – abad 18)
  • Bahasa Melayu Peralihan (abad 19), disini mulai menulis dalam abjad latin
  • Bahasa Melayu Baru (abad 20)
  • Bahasa Melayu Modern (Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia)
  • Menjadi bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928

Terdapat beberapa ragam Bahasa Melayu :

  • Melayu Riau Johor
  • Melayu Betawi
  • Melayu Cina
  • Melayu Manado
  • Melayu Maluku
  • Melayu Balai Pustaka, 
  • dan Pujangga Baru.

Seiring dengan perkembangan bahasa ejaan juga mengalami perkembangan diantaranya :

  • Ejaan Van Ophujisen yang memiliki beberapa aturan yaitu j untuk y, dj untuk j. tj, dan untuk c (tahun 1901).
  • Ejaan Republik atau Ejaan Soewardi (tahun 1947)
  • Ejaan Melindo (Melayu Indonesia) pada tahun 1959
  • Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh presiden Republik Indonesia. Dengan ejaan ini maka Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia semakin dibakukan.
Kesimpulan :

Menurut perkembangan bahasa dan ejaan yang sudah ada, bahasa dari waktu ke waktu dan dari masa ke masa terus mengalami perubahan yang dinamis, seringkali dalam penggunaanya terdapat kesalahan, baik itu dalam tulisan mau pengejaannya. Bahkan saya sendiri selaku anak bangsa, saya juga seringkali melakukan kesalahan, entah itu dari dialeg, pengucapan, penggunaan tanda baca, penggunaan huruf besar, penempatan status dan masih banyak lainnya. Saya merasa topik mengenai Bahasa ini sendiri sangat menarik dan bermanfaat, terutama karena saya mengambil jurusan Komunikasi, tentu saja kami selaku anak Komunikasi harus dapat menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Maka dari itu bimbingan yang telah diberikan oleh para ahli sangat bermanfaat untuk meminimalisir kesalahan penggunaan bahasa. Dan tentu saja kita selaku bangsa Indonesia kita harus menghargai dan menggunakan bahasa ini dengan baik dan benar.

Makna Arsitektur I Dan II

Secara etomologis simbol berasal dari bahasa Latin yaitu Symbolum atau berasal dari Yunani yaitu Symbolon, yang memiliki arti objek, gambar, tulisan, suara, atau tanda tertentu yang mewakili sesuatu yang lain oleh asosiasi, kemiripan, atau konvensi. 

Simbol merupakan :

  • Cara manusia untuk mengeksresikan sesuatu
  • Mencerminkan intelektualitas, emosi, dan spirit manusia
  • Memungkinkan terjadinya sebagian besar hubungan komunikasi manusia dalam bentuk baik tulisan, gambar, verbal ataupun isyarat
  • Bahasa universal lintas budaya dan jaman
Contoh simbol :







Sedangkan arsitektur secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu Architectura, dan dari bahasa Yunani yaitu arkitekton. Artinya ialah kepala atau pemimpin atau pembangun atau juga disebut tukang kayu. Jadi arsitektur sendiri ialah seni dan ilmu merancang bangunan dan struktur fisik lainnya.

Arsitektur dalam definisi yang lebih luas :
  • Dari level mikro (desain bangunan, kompleks bangunan, desain furniture)
  • Ke level makro (desain perkotaan)
Karya arsitektur sendiri sering dianggap sebagai :
  1. Karya seni ( Candi Borobudur, Menara Eiffel)
  2. Simbol politik dan budaya (Forbidden City di Beijing)
Simbol dan arsitektur, karya arsitektur yang juga merupakan sebagai simbol dari adanya :
  1. Kekuasaan : Politik, Demokrasi, Kebangkitan dan Kejayaan kebangsaan 
  2. Demokrasi
  3. Kemajuan Teknologi
  4. Sustainability approach
Simbol kekuasaan 

















Kemajuan Teknologi









Sustainability approach (Vietnam Pavilion pada Shanghai Expo)


Menurut saya sendiri antara simbol dan arsitektur tidak dapat dilepaskan satu sama lain dan memiliki keterkaitan yang amat besar. Di dalam arsitektur terdapat simbol-simbol, entah itu melambangkan simbol politik, ekonomi, kejayaan, demokrasi, kemajuan teknologi, dan sustainability approach. Sepatutnya karya arsitektur yang memaknai simbol dari suatu negara atau kota tersebut harus kita jaga, hargai, dan lestarikan..

Kebebasan Pers ( ORDE BARU & ORDE LAMA )

Pers Freedom atau yang kita kenal sebagai kebebasan Pers selalu menjadi topik hangat yang layak untuk terus diperbincangkan. Kebebasan Pers selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, waktu ke waktu. Dapat kita lihat pada masa Orde Baru-Reformasi sekarang. 

A. Masa Orde Baru
Pada masa orde baru pers mengalami trauma, kebebasan pers tidak diauki, kebebasan unuk menyatakan pendapat melalui lisan ataupun tulisan yang diatur di dalam Undang-Undang pun tidak berpengaruh pada masa Orde Baru. Pada awal masa orde baru pemerintah menjanjikan adanya kebebasan, keterbukaan, dan hal itu membawa angin segar kepada masyarakat untuk mengubah keterpurukan di masa orde lama. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah, tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Contohnya pada kasus Malari. peristiwa Malari tersebut menyebabkan Pers di Indonesia makin terpuruk. Pembredelan terhadap 3 Media Massa menjadi cikal bakal pemberontakan Mahasiswa, dan wartawan. Dan tahun 1998 merupakan puncak dari kemarahan wartawan dan masyarakat, yang menyebabkan kerusuhan besar-besaran yang pada akhirnya menggulingkan Rezim Soeharto. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.

B. Masa Reformasi
Sehabis penggulingan kekuasaan Soeharto, BJ Habibie sempat menggantikan kekosongan pemerintahan. Dan pada masa Presiden Habibie ini sudah tidak ada lagi yang namanya izin penerbitan, dimana pers tidak harus menelpon dan meminta izin ketika akan melakukan penerbitan suatu berita. Kemunduran pemerintahan Soeharto lah yang menjadi cikal bakal kebebasan pers sampai sekarang. Pada masa ini Pers sudah bukan lagi musuh negara, negara tidak mempersulit kebebasan para pers untuk menyampaikan aspirasi mereka, tetapi semua itu juga harus dapat dipertanggungjawabkan. Kita dapat melihat perbedaan kebebasan pers pada masa orde baru dan sekarang ialah, sekarang pers dapat mengkritik pemerintahan Ibu Megawati dan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dengan bebasnya. Hal tersebut tidak dapat dilakukan pada masa Orde Baru, pada masa Orde Baru apabila ada wartawan yang berani menulis mengenai kebobrokan pemerintahan maka wartawan tersebut akan ditangkap dan tidak diketahui keberadaannya. Musuh dari pers sendiri bukanlah negara lagi melainkan masyarakat, contohnya seperti : FPI, KPI. Ormas-ormas masyarakat tersebut merasa bahwa kebebasan yang dimiliki pers terlalu meresahkan dan terkadang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Sekarang ini yang disayangkan kebebasan Pers tertahan dan dikendalikan oleh pemilik media. Hal ini dampak nyata pada kasus Lapindo yang disebabkan oleh pengeboran minyak oleh Bakrie. Bakrie yang merupakan pemilik media dari TV One, dan tentu saja TV ONE tidak mungkin menyiarkan bahwa kasus tersebut kesalahan Lapindo Brantas tetapi hanyalah bencana alam. Menurut saya kebebasan dunia pers saat ini tidak terkendali. Malah terlalu bebas dan berlebihan. Sehingga siapa pun bisa menjadi wartawan dan siapun bisa menulis apa saja yang mereka suka dalam media massa. Seharusnya pers saat ini memegang prinsip kebebasan yang terbatas. Jadi pers harus tetap memegang prinsip-prinsip jurnalis dan kote etik wartawan.

Jurnalisme Indonesia

Jurnalisme berbeda dengan Jurnalisme Investigasi, jurnalisme merupakan kegiatan seorang jurnalis yang membawa laporan dari suatu tempat dimana terdapat peristiwa yang menarik dan layak. Sedangkan jurnalisme investigasi sendiri merupakan kegiatan yang  mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum.

Jurnalisme biasa tidak terlalu beresiko dibandingkan dengan jurnalisme investigasi, karena jurnalisme biasa hanya mengungkap apa yang terjadi di luaran, sedangkan pada jurnalisme investigasi berusaha untuk mengupas dan menguak apa yang terjadi sebenarnya.


Liputan investigasi harus meliputi 3 hal yaitu :
1. Harus dapat mengungkapkan fakta baru

  • Wartawan harus mengidentifikasi suatu berita dengan  menyelidiki dari sudut pandang yang lebih spesifik (harus mendetail).

2. Peraturan yang mendalam dan orisinil

  • Karya dari jurnalisme investigasi umumnya merupakan laporan yang mendalam karena dilakukan berdasarkan dari hasil riset yang memakan waktu cukup lama.

3. Liputan investigasi selalu mencari bukti  tertulis dengan menggunakan metode paper trail (pencarian jejak dokumen ), dan bisa dilakukan dengan wawancara.

  • Wawancara tersebut dilakukan dengan orang yang terlihat secara ektensif dan insentif yang terkait dengan proses penyelidikan.
Reportasi investigasi tak jarang menggunakan cara-cara polisi untuk membongkar suatu kejahatan, tak jarang para jurnalis investigasi harus menyamar untuk dapat mengungkapkan suatu peristiwa.

Di dalam Junalisme Investigasi terdapat kesulitan dan hambatan diantaranya ialah :
  1. Keterbatasan waktu, dana, dan sumber informasi
  2. Keraguan editor
  3. Bahaya akan suatu peristiwa
Jadi walaupun sama-sama jurnalisme yang mencari informasi, jurnalisme biasa dengan jurnalisme investigasi sangatlah berbeda. Jurnalisme investigasi merupakan pencarian fakta yang lebih mendalam, tidak seperti jurnalisme biasa yang hanya mengungkap fakta di permukaan. Dan dari kurun waktu nya pun, pencarian fakta pada investigasi biasanya memakan waktu lebih lama dan panjang dibanding jurnalisme biasa.


Pembicara Nezar Patria

Semiotik ( Simbol )

Semiotik merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani same = semiotikos = semeion yang berarti "tanda" atau "sign" dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti : bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.

Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi

Perintis awal semiotik adalah Plato, yang memeriksa asal muasal bahasa. Aritoteles mencermati kata benda dalam bukunya Poetics & On Interpretation. Terdapat perbedaan mendasar antara tanda alami (natural) dan tanda yang disepakati(konvensional), contoh tandanya : Symptom (gejala).

Ada beberapa ahli yang mengembangkan teori tanda, diantaranya adalah :
St. Agustinus (354-430) mengembangkan teori tentang signa tanda (tanda konvensional). Persoalan tanda menjadi objek pemikiran filosofis. Studi dibatasi mengenai hubungan kata fisik dan kata mental.
- William of Ockham OFM (1285-1349) yang merupakan seorang filosofis mempertajam mengenai studi tentang tanda. Tanda dikategorikan berdasarkan sifat. 
- John Locke (1632- 1700) melihat eksplorasi tentang tanda akan mengarah pada terbentuknya basis logika baru. Hal ini tertuang dalam karyanya "An Essay Concerning Human Understanding (1690)"

Semiotik sendiri memiliki tiga konsep dasar yaitu :
- Semiotik Semantik
- Semiotik Sintaksis
- Semiotik Pragmatik

Konsep tersebut diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussare (1857-1913), yang berasal dari Swiss dan mengajar bahasa Sansekerta dan liguistik sejarah.


Charles Sanders Pierce (1839-1914) merupakan seorang filsuf berkebangsaan Amerika yang mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Ia mengembangkan teori tanda yang dibentuk oleh 3 faktor yaitu : 
- Representamen
- Objek, 
- dan Sense


oleh Bp Kurnia Sekawan S.Sn, M.Hum, CHt
7 September 2010

Media Dan Gender

Era Reformasi merupakan era dimana media massa di Indonesia berkembang pesat dibanding dari masa orde baru. Pada masa orde baru, media massa dilarang dan dibatasi oleh pemerintah, tetapi sekarang kita dapat melihat berkembangnya ratusan media cetak maupun elektronik dengan fokus liputan yang beragam.


Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, banyak media tersebut yang harus tutup atau bergabung dengan media lain. Hal tersebut dikarenakan persaingan media yang sangat ketat.Persaingan antar pers setelah reformasi sangatlah ketat, para pemilik media berusaha untuk mencari tempat di hati khalayak. Salah satu topik yang menarik dan tidak pernah habis untuk diperbicangkan adalah mengenai masalah Gender dengan mengeksploitasi seksualitas terutama wanita. Contohnya : pada koran Lampu Merah, majalah Playboy, majalah Pop dan lain-lain. 

Gender bukanlah sekedar sebuah aspek penting dari cara “orang lain” melihat “kita”, tetapi jugasangat mempengaruhi cara “kita” melihat dan memahami “diri kita sendiri”.Pemikiran para jurnalis Indonesia sendiri masih menggunakan sistem patriarki, dimana wanita hanya dianggap sebagai properti yang menarik dengan bentuk tubuh yang indah, dibanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh wanita itu sendiri.

Banyaknya berita mengenai bias Gender terutama terhadap wanita, bukan tidak membawa dampak negatif terhadap khalayak dan masyarakat. Karena hal itu pun ( Bias Gender) banyak kalangan yang memprotes dan menyatakan keberatan terhadap ketidaksetaraan Gender, dan pemberitaan yang menyudutkan wanita.

Menurut saya, ketidaksetaraan Gender terjadi juga karena banyak dikuasai oleh para laki-laki, sehingga mereka menulis berdasarkan apa yang ada di pikiran mereka bahwa wanita merupakan obyek yang menarik yang dapat membawa keuntungan bagi pasar. Dan sayang sekali kalau dunia jurnalisme kita saat ini masih dianggap sebagai ranah maskulin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh International Federation for Journalist (IFJ), yang dikeluarkan di Brussels tahun 2002 dan melibatkan 39 negara di seluruh dunia. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa jurnalis wanita hanya mencapai 38%, hanya naik 11% dari penelitian 10 tahun sebelumnya. Dan hal ini belum terkait dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh editor, kepala departemen, bahkan oleh pemikiran pemilik media tersebut. Bahkan di Indonesia dapat dikatakan hampir sebagian besar pemilik media tersebut merupakan kaum laki-laki.

Terlalu bebasnya media massa dan jurnalisme, pemikiran yang menganut sistem patriarki, dan banyaknya jurnalis laki-laki dapat diramalkan bahwa akan banyak hasil dari pers tersebut yang akan merendahkan wanita. Dapat kita lihat pada kasus video panas mirip 3 artis ibukota yaitu : Nazril Ilham, Luna Maya, dan Cut Tari. Para khalayak digiring dan dibawa bahwa Nazril Ilham atau Ariel Peterpan merupakan laki-laki yang hebat dan sangat beruntung. Luna Maya digambarkan sebagai sosok yang bebas, dan Cut Tari digambarkan sebagai perempuan yang liar dan nakal semenjak SMA.

Menurut saya pengaruh media massa membawa dampak yang sangat besar dalam pembentukan opini publik. Hendaknya kebebasan pers yang dianut oleh bangsa ini tidak hanya bebas tetapi dapat dipertanggung-jawabkan, dan tidak menyudutkan salah 1 pihak.