Era Reformasi merupakan era dimana media massa di Indonesia berkembang pesat dibanding dari masa orde baru. Pada masa orde baru, media massa dilarang dan dibatasi oleh pemerintah, tetapi sekarang kita dapat melihat berkembangnya ratusan media cetak maupun elektronik dengan fokus liputan yang beragam.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, banyak media tersebut yang harus tutup atau bergabung dengan media lain. Hal tersebut dikarenakan persaingan media yang sangat ketat.Persaingan antar pers setelah reformasi sangatlah ketat, para pemilik media berusaha untuk mencari tempat di hati khalayak. Salah satu topik yang menarik dan tidak pernah habis untuk diperbicangkan adalah mengenai masalah Gender dengan mengeksploitasi seksualitas terutama wanita. Contohnya : pada koran Lampu Merah, majalah Playboy, majalah Pop dan lain-lain.
Gender bukanlah sekedar sebuah aspek penting dari cara “orang lain” melihat “kita”, tetapi jugasangat mempengaruhi cara “kita” melihat dan memahami “diri kita sendiri”.Pemikiran para jurnalis Indonesia sendiri masih menggunakan sistem patriarki, dimana wanita hanya dianggap sebagai properti yang menarik dengan bentuk tubuh yang indah, dibanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh wanita itu sendiri.
Banyaknya berita mengenai bias Gender terutama terhadap wanita, bukan tidak membawa dampak negatif terhadap khalayak dan masyarakat. Karena hal itu pun ( Bias Gender) banyak kalangan yang memprotes dan menyatakan keberatan terhadap ketidaksetaraan Gender, dan pemberitaan yang menyudutkan wanita.
Menurut saya, ketidaksetaraan Gender terjadi juga karena banyak dikuasai oleh para laki-laki, sehingga mereka menulis berdasarkan apa yang ada di pikiran mereka bahwa wanita merupakan obyek yang menarik yang dapat membawa keuntungan bagi pasar. Dan sayang sekali kalau dunia jurnalisme kita saat ini masih dianggap sebagai ranah maskulin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh International Federation for Journalist (IFJ), yang dikeluarkan di Brussels tahun 2002 dan melibatkan 39 negara di seluruh dunia. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa jurnalis wanita hanya mencapai 38%, hanya naik 11% dari penelitian 10 tahun sebelumnya. Dan hal ini belum terkait dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh editor, kepala departemen, bahkan oleh pemikiran pemilik media tersebut. Bahkan di Indonesia dapat dikatakan hampir sebagian besar pemilik media tersebut merupakan kaum laki-laki.
Terlalu bebasnya media massa dan jurnalisme, pemikiran yang menganut sistem patriarki, dan banyaknya jurnalis laki-laki dapat diramalkan bahwa akan banyak hasil dari pers tersebut yang akan merendahkan wanita. Dapat kita lihat pada kasus video panas mirip 3 artis ibukota yaitu : Nazril Ilham, Luna Maya, dan Cut Tari. Para khalayak digiring dan dibawa bahwa Nazril Ilham atau Ariel Peterpan merupakan laki-laki yang hebat dan sangat beruntung. Luna Maya digambarkan sebagai sosok yang bebas, dan Cut Tari digambarkan sebagai perempuan yang liar dan nakal semenjak SMA.
Menurut saya pengaruh media massa membawa dampak yang sangat besar dalam pembentukan opini publik. Hendaknya kebebasan pers yang dianut oleh bangsa ini tidak hanya bebas tetapi dapat dipertanggung-jawabkan, dan tidak menyudutkan salah 1 pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar